Menurut pasal pasal 14 Undang-Undang Jasa Konstruksi disebutkan bahwa
para pihak dalam pekerjaan konstruksi terdiri dari pengguna jasa dan
penyedia jasa. Namun dalam prakteknya, kontrak kerja konstruksi
seringkali melibatkan pihak ketiga sebagai penjamin dalam menutup risiko
kerugian yang akan timbul bilamana pihak kontraktor melakukan
wanprestasi. Perjanjian yang melibatkan dengan pihak ketiga tersebut
merupakan perjanjian accesoir sebagai salah satu perjanjian jaminan,
dalam hal ini adalah perjanjian indemnity yang merupakan bagian dari
Surety Bond. Surety Bond atau disebut juga Construction Bond merupakan
salah satu bentuk perjanjian antara tiga pihak, dimana pihak pertama
(surety) memberikan jaminan untuk pihak kedua (principal) untuk
kepentingan pihak ketiga (Obligee). Dalam perjanjian tersebut disepakati
bahwa apabila pihak yang dijaminan (Kontraktor/Principal) lalai dan
gagal menyelesaikan kewajibannya terhadap pihak ketiga (pemilik
proyek/Obligee) atas apa yang telah diperjanjikan, maka pihak penjamin
(Asuransi/Surety) akan mengganti biaya yang diperlukan untuk
menyelesaikan pekerjaan yang belum terselesaikan tersebut. Dengan
demikian perjanjian tersebut menjadi perjanjian antara 3 pihak dimana
pemberian jaminan (Surety Bond) bersifat perjanjian tambahan (Accesoir)
terhadap perjanjian pokok (Underlying Contract) yang dibuat antara
Pemilik Proyek (Obligee/Pengguna Jasa) dengan Kontraktor
(Principal/Penyedia Jasa). Perjanjian Indemnity merupakan perjanjian
yang dibuat sebelum diterbitkannya Surety Bond. Dalam Perjanjian
Indemnity atau sering disebut General Agreement of Indemnity to Surety,
perusahaan asuransi sebagai pihak Penjamin diberikan hak untuk menuntut
kembali didasarkan pada janji ganti rugi yang akan dilaksanakan pada
saat pemberi jaminan (perusahaan asuransi) telah melakukan pembayaran
ganti rugi kepada Oligee (Pengguna Jasa/Pemilik Proyek) berdasarkan
kontrak jaminan perjanjian indemnity. Perjanjian Indemnity tersebut yang
menjadi dasar bahwa perusahaan asuransi (Surety Company) akan
mendapatkan ganti rugi atas pembayaran yang dilakukannya kepada Obligee.
Perjanjian Indemnity merupakan perjanjian yang timbul sebagai
konsekwensi dari adanya Surety Contract (diterbitkannya Surety Bond
untuk proyek tender). Perjanjian ini mensyaratkan adanya Indemnitor yang
bersama-sama dengan Principal akan membayar kerugian yang timbul akibat
lalainya Principal. Perjanjian Indemnity tersebut walaupun merupakan
perjanjian yang berdiri sendiri, namun pada dasarnya timbul sebagai
akibat dari dikeluarkannya Surety Bond, sehingga perjanjian ini tidak
akan ada apabila tidak ada perjanjian mengenai Surety Bond. Perjanjian
indemnity atau disebut dengan General Agreement of Indemnity to Surety
yang harus ditandatangani oleh Principal bersama-sama dengan
Indemnitornya di dihadapan Notaris. Namun dalam praktek sering juga
Perjanjian indemnity tersebut hanya dengan waarmerken oleh Notaris. Yang
dimaksud dengan indemnitor adalah pihak yang mengikatkan dirinya
bersama-sama dengan Principal untuk memberikan ganti rugi kepada Surety
apabila Principal mengalami wanprestasi dan kemudian Surety membayarkan
klaimnya kepada Obligee. General Agreement of Indemnity to Surety
umumnya berlaku untuk masa 1 tahun. Perjanjian indemnity yang dibuat
sehubungan dengan diterbitkannya produk asuransi berupa Surety Bond yang
merupakan suatu jaminan untuk melaksanakan suatu pekerjaan sesuai
dengan kontrak kerja konstruksi. Perusahaan asuransi yang diberi
kewenangan oleh Departemen Keuangan Republik Indonesia dalam menerbitkan
Surety Bond sangat berperan penting dalam mendukung tender-tender
dibidang jasa konstruksi, terutama untuk Usaha Kecil Menengah (UKM)
karena premi yang merupakan service charge lebih murah dibandingkan
dengan biaya yang harus dibayar jika menggunakan jaminan berupa Bank
Garansi. Hal ini sangat membantu untuk kelancaran bisnis di bidang jasa
konstruksi yang dilakukan oleh Principal UKM tersebut. Selain hal
tersebut di atas, dalam menerbitkan Surety Bond, pihak penjamin yang
merupakan suatu perusahaan asuransi pada prinsipnya tidak memintakan
setoran uang (setoran jaminan) maupun agunan dari Principal/Kontraktor.
Asuransi yang harus mencakup seluruh proyek termasuk jaminan kepada
pihak ketiga dengan masa pertanggungan selama proyek berlangsung,
dikenal dengan istilah Contractors All Risk Third Party Liability
Assurance (CARTPL). Biasanya penerima manfaat (beneficary) dari asuransi
ini adalah Pengguna Jasa/Pemilik (Obligee), akan tetapi yang membayar
premi asuransi adalah Penyedia Jasa (Principal/Kontraktor). Besarnya
nilai premi ini dapat saja tercantum secara khusus dalam Daftar Uraian
Biaya (Bill of Quantity) atau diabyar/disediakan oleh Obligee dan yang
penting biasanya Obligee menuntut agar premi asuransi disediakan untuk
meyakinkan bahwa proyek tesebut di bawah tanggungan asuransi. Jenis
asuransi lain dalam kontrak konstruksi adalah asuransi tenaga kerja
(ASTEK), asuransi kesehatan (ASKES). Asuransi tenaga kerja (ASTEK)
menjamin risiko yang terjadi akibat kecelakaan para pekerja selama
melakukan pekerjaan proyek konstruksi, sedangkan asuransi kesehatan
(ASTEK) menjamin risiko yang terjadi karena para pekerja dalam proyek
konstruksi mengalami sakit.. Dengan adanya asuransi yang merupakan salah
satu sarana pengalihan risiko dengan cara pembiayaan risiko (risk
financing), di mana Principal sebagai transferor bermaksud untuk
menghilangkan atau mengurangi tanggung jawab terhadap kerugian yang
diakibatkan oleh timbulnya suatu risiko dengan memindahkan tanggung
jawab kepada perusahaan asuransi sebagai trasferee.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar